Rabu, 31 Maret 2010 , 06:19:00
Manfaat Tambang Batu Bara Tak Terasa
PENJABAT Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Sulaiman Gafur mengakui aktivitas tambang batu bara perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP, dulunya kuasa pertambangan/KP) tak memberikan dampak langsung bagi masyarakat Kukar. Berbanding terbalik dengan dampak berupa banjir lumpur dan lubang raksasa yang ditinggalkan usai eksploitasi.
“Tak ada yang berdampak langsung karena memang dana royalti langsung dikirim ke pusat. Kukar baru menerimanya setelah dibagi, yakni dalam bentuk dana perimbangan,” kata Sulaiman Gafur, kemarin.
Memang soal IUP ini, Sulaiman mengaku kesulitan untuk mengetahui berapa persisnya dana yang didapat Kukar sebagai royalti. “Karena itu tadi, semua disetor ke pusat langsung. Jadi, Kukar tak merasakan dampaknya secara langsung,” ulasnya.
Begitu juga dengan dana reklamasi, menurut Sulaiman, dana itu juga disetor ke pemerintah pusat atau tepatnya ke Kas Negara. Baru setelahnya disampaikan informasinya ke pemerintah kabupaten. “Jadi kalau mau jujur, tak ada dampak yang dirasakan langsung. Semua ke pusat lebih dulu,” tuturrnya.
Dijelaskannya, tak banyak IUP yang memberikan dampak multiplier efek, yakni seperti penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan warga sekitar lokasi tambang. “Ada yang memberikan dampak itu, tapi ada pula yang tak memberikan dampak sama sekali,” tambah dia.
Dijelaskannya, munculnya dugaan ada IUP yang masuk dalam kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, akibat adanya perubahan luas tahura sesuai SK Menhut 577/Menhut-II/2009 yang menetapkan kawasan seluas 67.776 hektare (sebelumnya sesuai Keputusan Menteri Kehutanan No 270/Menhut-II/1990 tanggal 20 Mei 1991 ditetapkan tahura luas 61.850 hektare).
“Kemungkinan beberapa IUP yang memiliki luas lahan di sekitar tahura, akibat perubahan luas itu, hampir masuk dalam kawasan. Tapi, kami terus melakukan inspeksi agar benar-benar tak ada IUP, terutama yang sudah eksploitasi, beroperasi di dalam tahura,” katanya.
Sulaiman juga mengatakan, pihaknya sudah meminta Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kukar untuk melakukan pengecekan terhadap kewajiban reklamasi dan vegetasi yang harus dilakukan perusahaan pemegang IUP. “BLH sudah kami minta untuk mengawasi. Yang jelas, pertambangan kini dilakukan betul-betul melihat dampak lingkungannya. Semuanya selektif,” ujarnya.
CACAT HUKUM
Nasib sebagian wilayah tahura yang diduga dikuasai IUP, yang dinyatakan boleh ditambang dinilai cacat hukum. Menurut paper yang dibuat Ade Fadli, staf Borneo Ecology and Biodivesity Conservation Institute (BEBSiC) --lembaga non-pemerintah yang konsen terhadap lingkungan--, sesuai SK Menhut 577/Menhut-II/2009 yang menetapkan batas baru tahura, IUP yang sudah terbit boleh melanjutkan aktivitasnya.
Namun demikian, menurut dia, bagian keempat butir b dalam keputusan itu catat hukum. Dalam bagian itu tertulis: “izin yang telah diterbitkan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah yang sah pada areal bukan kawasan hutan, berdasarkan lampiran Kepmenhut 270/Kpts-II/1991 tanggal 20 Mei 1991 dan menurut keputusan ini ditunjuk menjadi kawasan hutan, masih tetap berlaku sampai dengan izinnya berakhir”.
Artinya, IUP yang terbit berdasarkan Kepmenhut 270/1991 (luas 61.850 hektare) yang tidak masuk dalam tahura, lalu setelah SK Menhut 577/2009 (luas 67.766 hektare) masuk tahura, tetap berlaku. “Merujuk pasal 38 ayat 1 UU No 41/1999 tentang Kehutanan jo UU 19/2004 dinyatakan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam hutan produksi dan hutan lindung. Ini berarti tahura yang hutan konservasi tidak dapat diberikan IUP maupun aktivitas yang menunjang pertambangan,” jelasnya.
Kemudian, sambung Fadly, sesuai pasal 83A UU 19/2004, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya UU 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud. Artinya, IUP setelah 1999 tidak berlaku, seperti yang ada di tahura. “Itu sebabnya SK 577/2009 kami nilai cacat hukum,” lanjutnya.
Selain itu, izin tambang di dalam dan sekitar tahura juga dinilai melanggar pasal 44 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di situ disebut, penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat nasional dan daerah wajib memperhatikan fungsi, prinsip, dan pengelolaan lingkungan.
Sementara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyebut, berdasarkan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2008, izin KP yang merujuk dari Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Kalimantan Timur SK 79/Kpts-II/2001, (untuk wilayah tahura SK 577/2009 belum keluar) diketahui di penjuru Kukar ada 41 KP di kawasan hutan produksi dengan total luas 49.575 hektare dan 16 KP mengiris hutan konservasi dengan luas total 1.426 hektare.
“Beberapa dari 16 KP itu mengiris tahura. Khusus untuk tahura, hasil pemeriksaan BPK masih menggunakan peta dengan luas sekitar 61 ribu hektare. Logikanya, jika setelah SK 577/2009 luasnya bertambah menjadi 67 ribu hektare, kemungkinan KP yang mengiris tahura semakin besar juga ‘kan?” jelas Kahar Al Bahri, dinamisator Jatam Kaltim. Meski begitu, Jatam menyebut sedang menelusuri apakah luasan KP sudah dikurangi seiring bertambah luasnya tahura.(che/fel)
http://www.kaltimpost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=56587
0 komentar:
Posting Komentar